Pola Hunian Manusia Praaksara
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa
Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut.
Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan
hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal,
manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang
terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Tempat tinggal yang pertama
dihuni adalah gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan
ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis. Selain di gua-gua, ada
juga yang bertempat tinggal di tepi pantai, hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak di samping
tulang-tulang manusia dan alatnya di Sumatera Timur.
Kehidupan manusia pada masa
prasejarah tergantung pada lingkungan dan penguasaan teknologi. Sumber-sumber
subsistensi dari lingkungan ditambah dengan penguasaan teknologi pada masa itu,
mengakibatkan pola kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Selain itu,
manusia juga memanfaatkan bentukan alam untuk mempertahankan hidupnya. Oleh
karena itu, gua dan ceruk menjadi salah satu alternatif tempat tinggal bagi
manusia pada masa prasejarah.
Selain sumber daya yang memadai, aspek-aspek fisik lingkungan merupakan faktor penting lainnya yang menentukan kelayakan suatu lokasi untuk permukiman. Dalam kaitannya dengan hunian gua, faktor-faktor tersebut meliputi morfologi dan dimensi tempat hunian, sirkulasi udara, intensitas cahaya, kelembaban, kerataan dan kekeringan tanah, dan kelonggaran dalam bergerak.
Masyarakat pemburu dan pengumpul
makanan menggunakan gua atau ceruk untuk lokasi hunian, baik itu secara menetap
maupun sementara. Ketergantungan masyarakat tersebut terhadap sumberdaya
lingkungannya mengakibatkan ada pola yang berbeda-beda pada setiap wilayah.
Sumberdaya lingkungan dan morfologi gua yang berbeda-beda mengakibatkan adanya
tipe-tipe hunian yang bervariasi. Tipe yang muncul menunjukkan adanya satu
lokasi yang menjadi pusat (central place) dari aktivitas dan mempunyai lokasi-lokasi lainnya
sebagai pendukung dalam melakukan aktivitas dan juga tempat beraktivitas.
Pola hunian manusia purba yang memperlihatkan 2 karakter khas:
1.kedekatan dengan sumber air
2.kehidupan di alam terbuka
Pola hunian tersebut dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Contoh:
Situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo seperti Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong. Dari semua itu terlihat ada kecenderungan manusia purba menghuni daerah pinggiran sungai. Manusia purba mempunyai kecenderungan untuk menghuni lingkungan terbuka disekitar aliran sungai. Manusia purba juga memanfaatkan barbagai sumber daya lingkungan yang tersedia termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak menghuni gua secara menetap, bisa juga gua digunakan hanya untuk tempat persinggahan saja sehingga tidak meninggalkan jejak pada kita.
Manusia purba di Indonesia diperkirakan sudah hidup menjelajah atau Nomaden untuk jangka waktu yang lama. Mereka mengumpulkan bahan makanan pada wilayah tertentu dan berpindah-pindah. Lama hunian di suatu lingkungan eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan jadi mereka akan berpindah tempat dan mencari tempat tinggal lagi jika lingkkungan sekitar tidak menjanjikan bahan makanan lagi.
1.kedekatan dengan sumber air
2.kehidupan di alam terbuka
Pola hunian tersebut dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Contoh:
Situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo seperti Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong. Dari semua itu terlihat ada kecenderungan manusia purba menghuni daerah pinggiran sungai. Manusia purba mempunyai kecenderungan untuk menghuni lingkungan terbuka disekitar aliran sungai. Manusia purba juga memanfaatkan barbagai sumber daya lingkungan yang tersedia termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak menghuni gua secara menetap, bisa juga gua digunakan hanya untuk tempat persinggahan saja sehingga tidak meninggalkan jejak pada kita.
Manusia purba di Indonesia diperkirakan sudah hidup menjelajah atau Nomaden untuk jangka waktu yang lama. Mereka mengumpulkan bahan makanan pada wilayah tertentu dan berpindah-pindah. Lama hunian di suatu lingkungan eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan jadi mereka akan berpindah tempat dan mencari tempat tinggal lagi jika lingkkungan sekitar tidak menjanjikan bahan makanan lagi.
Rumusan Masalah :
- Mengapa manusia purba banyak yang
tinggal ditepi sungai?
- Mengapa manusia purba tinggal di
gua-gua?
- Jelaskan pola kehidupan nomaden
manusia purba?
No Soal
|
Jawaban
|
1
|
Karena air
merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Keberadaan air mengundang hadirnya
berbagai binatang juga memberikan kesuburan bagi tanaman
|
2
|
-
Melindungi diri dari alam (Hujan, terik Matahari)
-
Melindungi diri dari binatang buas
-
Untuk menyimpan bahan makanan
|
3
|
Mereka mengumpulkan bahan makanan
dalam lingkup wilayah tertentu dan berpindah-pindah.
Lama hunian disuatu lingkungan
eksploitasi dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan, manakala lingkungan
sekitar sudah tidak menjanjikan bahan makanan mereka berpindah ke lingkungan
baru
|
CONTOH SITUS-SITUS
POLA HUNIAN

Manusia
mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu
tengah)(Soekmono, 1996 : 46) atau masa berburu dan meramu tingkat
lanjut(Poesponegoro, 1993 : 125). Sebelumnya manusia belum mengenal tempat
tinggal dan hidupnomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal
tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat
sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu (Poesponegoro,
1993 : 135). Tempat tinggal yang pertama dihuni adalah gua-gua atau ceruk
peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber
makanan di sekitarnya habis. Selain di gua-gua, ada juga yang bertempat tinggal
di tepi pantai, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan kulit kerang
dan siput dalam jumlah banyak di samping tulang-tulang manusia dan alatnya di
Sumatera Timur (Poesponegoro, 1993 : 125).
Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan tulang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak jaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu sudah dibuat, namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alat-alat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja dibuat permanen, tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu. Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut. Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 : 178 - 180). Bahkan di Papua sampai sekarang kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik (Bellwood, 1996 : 278 -279). Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1996 : 280). Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
Fungsi Gua Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 mdpl. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan (Poesponegoro, 1993 : 125). Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu (Bellwood, 1996 : 280). Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba.
Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia (Bellwood, 1996 : 124-125).
Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai tempat tinggal
Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya (Sugiyanto, 2004). Pada awall-awal penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.
b. Sebagai kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim ibunya (Sugiyanto, 2004). Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur (Poesponegoro, 1993 : 160, Simanjuntak, 1998).
Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun paeti kayu dalam berbagai ukuran (Sugiyanto, 2004). Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.
c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan (Foreister, 2000 : 54-56). Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks (Poeponegoro : 95 – 100).
Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua) (Bellwood, 1996 : 124-125).
Sebelum bertempat tinggal manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membuat alat-alat yang berasal dari batu dan tulang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan alat-alat batu yang sudah ada sejak jaman paleolithikum (batu tua). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu sudah dibuat, namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Alat-alat dari masa ini bercirikan masih sangat sederhana, belum diasah dan menggunakan teknik droping system. Teknik droping system, yaitu memukulkan batuan yang satu dengan yang lain sehingga diperoleh bentuk yang diinginkan. Jadi alat dari masa paleolithikum ini tidak sengaja dibuat permanen, tapi dibuat berdasarkan kebutuhan pada saat itu. Seiring perkembangan pola pikir manusia, alat-alat yang digunakan manusia juga mengalami perkembangan, dari yang semula sangat sederhana tidak diasah menjadi diasah, bahkan dibuat dari bahan yang indah dan bagus. Alat-alat yang indah ini sebagian besar merupakan benda pusaka dan kemungkinan juga digunakan alat pertukaran. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pemakaian pada alat-alat tersebut. Sampai sekarang dalam kepercayaan masyarakat kita masih mengenal kepercayaan akan kekuatan batu yang indah, seperti batu permata dan lain sebagainya (Poesponegoro, 1993 : 178 - 180). Bahkan di Papua sampai sekarang kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik (Bellwood, 1996 : 278 -279). Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1996 : 280). Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
Fungsi Gua Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 mdpl. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan (Poesponegoro, 1993 : 125). Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu (Bellwood, 1996 : 280). Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba.
Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia (Bellwood, 1996 : 124-125).
Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai tempat tinggal
Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya (Sugiyanto, 2004). Pada awall-awal penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.
b. Sebagai kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim ibunya (Sugiyanto, 2004). Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur (Poesponegoro, 1993 : 160, Simanjuntak, 1998).
Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun paeti kayu dalam berbagai ukuran (Sugiyanto, 2004). Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.
c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan (Foreister, 2000 : 54-56). Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks (Poeponegoro : 95 – 100).
Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua) (Bellwood, 1996 : 124-125).
Goa
Papua

Goa Song Keplek

Keunikan Pola Permukiman Suku-Suku
di Indonesia
Indonesia
merupakan suatu negara yang memiliki ragam budaya yang variatif. Berbagai jenis
suku melebur menjadi satu di dalamnya. di lihat dari segi sosial masyarakat
indonesia pada umumnya masih mempercayai mitos-mitos yang telah turun temurun
dan menjadi titik balik bagi beberapa golongan masyarakat.
Pola
pemikiran masyarakat indonesia juga berdampak pada aspek yang lainya. Misalnya
berdampak pada keberadaan tempat tinggal dari masyarakat tersebut. Contoh yang
sangat kental yaitu pola ruang pemukiman masyarakat suku dayak,suku toraja,suku
sumba,suku bali dan suku jawa.
Corak yang
terlihat dari pola permukiman suku dayak sangatlah kental sesuai dengan
struktur atau keadaan geografis keberadaanya. Biasanya
pemukiman suku dayak berada di pinggir sungai mengikuti alur sungai. Rumah yang
berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu bulat biasanya menghadap ke sungai
dan menghadap ke arah timur. Keduanya bermakna sebagai sumber kehidupan yang
bisa memberikan kekuatan, nafas, dan kehidupan bagi manusia.Sungai memiliki
multi-fungsi bagi orang Dayak. Disamping dipercaya sebagai satu-satunya jalan
yang ditempuh oleh roh-roh orang yang sudah mati menuju ke surga baka, sungai
juga berfungsi sebagai prasarana transportasi, sumber lauk pauk(ikan), sumber
air minum dan sarana MCK. Namun seperti halnya orang Dayak Maanyan yang tinggal
di daerah dataran rendah dan jauh dari sungai besar, pola permukiman
mereka(kampung) umumnya berada di pinggir-singgir jalan Negara tapi tetap tidak
jauh dari sungai-sungai kecil sebagai sumber air minum dan MCK. Konstruksi
rumah mereka berada di kiri kanan jalan Negara dan bagian depan rumah menghadap
ke jalan raya.
Berdasarkan
sejarah perkembangan dayak, pada zaman dahulu masyarakat dayakdayak tinggal
dengan permukiman bertipe konsentrik dan linear dalam pola permukiman tepi
sungai . Hal turut dipengaruhi oleh peran besar sungai, dalam hal ini sungai
arut, dalam kehidupan masyarakat dayak. Menurut Joko (2002), pola memanjang
sebagai pola pembangunan mengikuti sungai merupakan dampak atas pentingnya
sungai sebagai sumber mata pencaharian maupun sumber kebutuhan hidup
sehari-hari seperti mandi, mencuci, masak, dan lain-lain.
Seiring
perkembangan zaman, masyarakat dayak modern cenderung memilih pola permukiman
yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Hal ini berbeda dengan zaman dahulu
yang masih mengandalkan perintah kerajaan untuk tinggal berdasarkan asal usul,
ataupun menjadi pola interaksi dengan tinggal berdekatan dengan kerabat
(homogen). Masyarakat dayak mulai beralih kearah pola permukiman yang bersifat
heterogen dan mulai meninggalkan titah kerajaan untuk tinggal berdasarkankan
penempatan kerajaan pada zaman dahulu.
2. suku
sumba
Selain suku
dayak pola ruang permukiman yang sangat unik juga dapat di temukan pada suku
sumba. Tidak berbeda jauh dengan pola permukiman suku dayak,pola permukiman
suku sumba juga biasanya mengikuti keadaan alam. Permukiman suku sumba bisa di
temukan pada daerah pinggiran sungai dengan mempunyai arti religius atau
kepercayaan tersendiri. Suku sumba yang biasa bermukim di sepanjang sungai
di sebut penduduk umalulu. Penduduk ini masih mempercayai roh-roh nenek moyang
mereka. Kebanyakan dari penduduk umalulu bermukim di pedalaman pulau
sumba.
Selain
ituKeterbatasan pola susunan terhadap keamanan dan persatuan, bahan dan
teknologi, mobilitas, serta struktur sosial yang kaku mempengaruhi luasan
kampung adat. Tradisi dan budaya sangat mempengaruhi suasana kampung yang
diekspresikan secara religius simbolik. Simbol tersebut digunakan untuk
mengkomunikasikan makna dan susunan yang mencerminkan hubungan antar penghuni
rumah adat, serta hubungan masyarakat dengan leluhurnya.
Pola kampung
adat di Sumba berbentuk cluster atau tertutup dengan hanya mempunyai
satu gerbang yang menjadi akses keluar-masuk ke dalam kampung adat. Dengan hanya memiliki satu akses ini
dipercaya akan menjadi suatu faktor keamanan dan pertahanan yang handal. Faktor
ini dianggap penting karena pada masa lalu, bahkan sampai saat inipun konflik
antar suku atau kabisu sangat sering terjadi. Pola ini
melambangkan bahwa kampung adat merupakan pusat bagi kegiatan dan kehidupan
masyarakat Sumba, sejak awal (lahir) hingga akhir (meninggal). Oleh sebab itu
setiap pribadi masyarakat Sumba meskipun telah merantau keluar dari pulau
Sumba, selalu berharap bila kelak tutup usia akan dimakamkan di kampung
adatnya.
Masyarakat
Sumba dalam budaya bermukimnya mengenal atau memiliki (tiga) jenis rumah, yaitu
sebagai berikut: 1. Rumah Adat (Uma) yang berfungsi
sebagai pusat dan awal kehidupan, sehingga disinilah semua kegiatan ritual
kepercayaannya berlangsung;2. Rumah
Dusun sebagai tempat tinggal sehar-hari; dan 3. Rumah Kebun sebagai tempat tinggal
saat berkebun atau bercocok-tanam. Kampung adat pada masyarakat Sumba pada
umumnya berbentuk persegi atau lonjong (ellips atau oval) yang dikelilingi oleh
suatu tembok batu yang cukup tebal dan tinggi, yang berfungsi sebagai batas
sekaligus benteng pertahanan bagi kabisu dari serangan kabisu yang lain. Bentuk dasar ini memang
menjadi salah satu ciri dari masyarakat prasejarah. Namun demikian, bentuk ini
masih sangat tergantung pada konteks alami lokasi (seperti kontur lahan ataupun
faktor alami lainnya) maupun terkait jumlah kabisu yang menghuni dan jumlah rumahnya.
Pola kampung
adat pada umumnya berorientasi ke arah utara – selatan, dengan arah selatan
sebagai arah utama. Oleh sebab itu rumah adat (uma) kepala kampung
(kepala kabisu) terletak
di selatan menghadap ke utara, atau yang disebut sebagai uma katoda, rumah wakil kampung
adat (anak laki tertua dari kepala kabisu)
atau disebut uma kere terletak di sebelah utara (menghadap
selatan), sedangkan deretan rumah adat sebelah barat adalah bagi anak nomor
urut genap dan deretan rumah adat sebelah timur adalah bagi anak dengan nomor
ganjil. Seluruh bangunan rumah adat tersebut mengelilingi dan menghadap atau
berorientasi pada natar yang menjadi pusatnya. Apabila dalam
satu permukiman kampung adat terdapat lebih dari satu kabisu, maka itu akan tercermin
pada jumlahnatarnya, karena setiap kabisu pasti mempunyai sebuah natar.
Arah selatan
merupakan arah datangnya angin laut dan musim yang mendatangkan kesuburan dan
hasil laut yang melimpah bagi masyarakat. Untuk menghormati anugerah alam, maka
arah selatan memperoleh penghargaan tinggi dan dijadikan sumbu utama dalam
mewujudkan permukiman kampung adat masyarakat Sumba. Pola orientasi kampung
adat utara – selatan tersebut ternyata tidak berlaku di semua lokasi kampung
adat karena beberapa diantaranya telah berganti orientasi ke arah timur –
barat, seperti pada kampung adat Kabonduk maupun Pasunga. Hal tersebut terjadi
karena pengaruh dan tekanan dari penjajah Belanda ketika menguasai Pulau Sumba.
Di tengah kumpulan bangunan rumah adat di dalam permukiman terdapat natar yang menjadi pusat orientasi. Natar menjadi penting karena di dalam natar inilah semua ritual kepercayaan Marapu dilakukan termasuk menjadi tempat bagi batu kubur danmuricana
3.suku
toraja.
Keunikan lain dalam struktur pola ruang yang di bisa di temukan
yaitu pada suku toraja. Suku toraja merupakan suku asli yang berdominsili pada
pulau sulawesi. Suku ini tersebar di berbagai pelosok pulau sulawesi. Pada suku
toraja terbagi lagi menjadi beberapa golongan masyarakat. Yang paling dari suku
toraja adalah keberadaan kampung ke’’te kesu. Kampung tradisional suku toraja
ini telah berusia lebih dari 400 tahun. Dan oleh pemerintah setempat telah
menjadikan kampung ini sebagai kawasan cagar budaya. Langkah yang di ambil oleh
pemerintah setempat sangatlah efektif,mengingat kampung adat ini memiliki
potensi yang sangat baik dalam mengembangkan lokasi pariwisata pada lokasi yang
berkaitan. Kembali lagi ke kampung adat ke’’te kesu. Kampung
yang dimiliki oleh keluarga besar Tongkonan Kesu ini terdiri dari beberapa area
dan semuanya berhubungan dengan tradisi masyarakat suku Toraja yang merupakan
budaya lokal masyarakat suku Toraja, namun belum pernah ada yang meneliti
mengenai struktur dan pola ruang kampung tersebut dan apa saja yang
mengakibatkan terbentuknya struktur dan pola ruang kampung yang ada di Toraja
Utara. Kampung Ke’te Kesu merupakan milik keluarga besar Tongkonan Kesu,
sehingga mengakibatkan struktur dan pola ruang kampung yang terbentuk menjadi
tidak terencana.Kampung Ke’te Kesu secara struktural memiliki bentuk yang
homogen, serta memiliki pola yang linear karena terletak dan berkembang di
pinggir Jl. Ke’te Kesu. Selain itu, karena kampung Ke’te Kesu telah ditetapkan
sebagai benda cagar budaya, maka perkembangan rumah-rumah tunggal cenderung ke
arah Jl.Ke’te Kesu. Secara fisik adanya area di kampung Ke’te Kesu ini karena
kebutuhan ruang masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari dan tradisi
mereka yaitu upacara-upacara adat yang mereka lakukan berdasarkan kepercayaan
mereka, yaitu Aluk Todolo (Agama Leluhur) yang memandang alam sebagai falsafah
dalam ajarannya.
4. suku bali.
Selain beberapa suku di atas pola ruang permukiman yang unik juga
dapat kita temukan pada suku bali. Suku bali merupakan suku yang berdominsili
pada pulau bali. Mayoritas suku bali memeluk agama hindu. Tidak sedikit dari
penduduk suku bali tersebut yang masih mempercayai benda-benda gaib seperti
gunung,batu,hutan dan sungai. Masyarakat suku bali sangat menghormati alam dan
lingkunganya. Mereka memiliki hubungan spritual yang sangat kuat terhadap alam
di sekitarnya. Oleh karena itu keadaan alam pada pulau bali sampai saat ini
masih terjaga kelestarianya. Keadaan itu sejalan dengan pemikiran suku bali
yang menganggap alam sebagai pusat kehidupan mereka.
Kepercayaan masyarakat suku bali juga di aplikasikan dengah pola
permukimanya sendiri. Pola permukiman suku bali memiliki tipologi yang
berangkat dari tatanan tradisi yang berdasarkan adat dan kepercayaan yang di
kenal sebagai pola hunian yang mewadahi suatu masyarakat yang cukup ketat
berpegang pada unsur sistem kebudayaanya. Hal yang paling mencolok dari
wujud konsep penataan ruang suku bali terdapat pada desa adat ubud. Desa
ubud menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke pulau
bali. Sampai saat ini telah terjadi pergeserab pola ruang pada kawasan tersebut
yang di pengaruhi berkembangnya sektor ekonomi jasa pariwisata. Pola tata ruang
permukiman serta gaya arsitektur tradisional desa adat ubud merupakan salah
satu bentuk pusaka budaya yang kaya akan nlai filosofi,seni dan budaya sehingga
perlu di lestarikan.
Selaras dengan keberadaan suku-suku di indonesia pembangunan
beberapa kawasan juga mengikuti filosofi dari keberadaan suku-suku di indonesia
yang memiliki tatanan struktur atau corak budayanya. Dapat di simpulkan bahwa
pembangunan pada negara indonesia sangat bergantung pada struktur pola ruang
dari suku-suku yang berada pada negara indonesia sendiri.
Pola permukiman yang unik juga terdapat pada desa adat legian, Pola Desa ini tergolong linear, desa
ini membujur arah utara-selatan, dengan batas di sebelah utara adalah Desa Adat
Seminyak, dan di sebelah selatan adalah Desa Adat Kuta. Di sebelah timur adalah
Sungai Tukad Mati dan persawahan, sedangkan di sebelah barat adalah laut
(Samudera Indonesia).
5.Pola
permukiman dan bangunan Dusun Sade, Lombok Tengah
Permukiman
di Dusun Sade dibatasi oleh pagar hidup berupa pohon dan bambu, sehingga tampak
jelas antara permukiman dengan lahan pertanian penduduk. Pencapaian ke
permukiman tersebut dapat melalui jalan masuk sebelah utara (jeba’ bale’)
dan jalan masuk sebelah barat (jeba’ bare). Pada awalnya, di permukiman
ini terdapat tiga pintu masuk dan keluar, yaitu dua pintu (jeba’ bale’ di sisi utara dan jeba’ muri di sisi timur) digunakan untuk
manusia, sedangkan satu pintu digunakan untuk hewan ternak. Adanya tiga pintu
ini dikaitkan dengan kepercayaan masyarakatnya, dua pintu untuk manusia sebagai
jalan masuk dan keluar roh–roh baik yang dipercaya membawa berkah dan
keselamatan, sedangkan pintu untuk hewan ternak dipercaya sebagai jalan masuk
roh–roh jahat yang membawa kesengsaraan dan penyakit. Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan penambahan jumlah rumah maka
pada tahun 1980 jeba’ muri terpaksa ditutup, sedangkan jeba’ bale’dan jeba’ baremasih tetap digunakan
hingga kini. Dengan adanya
kegiatan pariwisata di dusun Sade mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi jeba’ bare dari jalan masuk ternak menjadi jalan
masuk bagi manusia, khususnya wisatawan yang berkunjung ke dusun tersebut.
Perubahan fungsi ini berdampak terhadap kualitas jalan, yaitu dari jalan tanah
menjadi jalan dengan perkerasan batu. Permukiman di Dusun Sade terdapat
bangunan–bangunan tradisional yang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaituBale
Kodong untuk pasangan yang
baru menikah, Bae Tani untuk keluarga yang sudah agak mapan,
dan Bale Bontor untuk keluarga yang sudah mapan. Letak
rumah–rumah di Dusun Sade berjajar membentuk pola linier dengan sebagian besar
berorientasi ke arah jalan setapak, yaitu arah timur dan barat yang merupakan
arah matahari dan dipercaya sebagai pemberi berkah. Rumah–rumah di Dusun Sade
berpantangan untuk menghadap utara dan selatan. Pola linier tersebut juga
berkaitan dengan adanya pengelompokan keluarga yang disebabkan oleh adat
menetap masyarakat Sasak.
Kesimpulan
Manusia
purba sebenarnya hidup secara nomaden akan tetapi pada saat mereka
berpindah-pindah mereka selalu mencari tempat perlindungan berupa goa-goa. Biasanya
goa-goa yang mereka tempati selalu dekat dengan sungai,laut,pantai atau
tempat-tempat dimana mereka dapat mencari makan dengan mudah.
Heh tentang gue apa apaan -_- eke udah ngurangi mojok nya eaa huft. Untung cuma itu aja hahaha
BalasHapusMakasih ya,,,,,,,Sangat Membantu
BalasHapusthank ya , sangat membatu .
BalasHapusthank ya , sangat membatu .
BalasHapusCasino Lake Tahoe - Mapyro
BalasHapusCasino Lake Tahoe. Casino Lake Tahoe. 동해 출장안마 Casino Lake Tahoe is a casino hotel and casino 경기도 출장샵 located off I-15 속초 출장안마 in 계룡 출장마사지 Stateline, Nevada, United States. It 보령 출장마사지 is owned and